MAKALAH
KEPEMIMPINAN
DAN PERUBAHAN
Oleh:
Kelompok
3
1. Dinanti Putri Utami (125110600111007)
2. Nandia Hurin Ain (125110600111032)
3. Yana Yuliandani (125110601111006)
4. Maria Apriliani N (125110607111006)
5. Ahrozu Junda M. I. (125110600111016)
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA JEPANG
FAKULTAS
ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
2013/2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa
melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA sehingga kita semua dalam keadaan sehat
walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan
kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan kerido’an-NYA Makalah dengan judul
“KEPEMIMPPINAN DAN PERUBAHAN” ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari
berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik
demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.
Akhirnya penulis
berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.
Malang,
22 Oktober 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Berbicara
tentang kepemimpinan dan perubahan, pastilah keduanya memiliki keterkaitan.
Kami di sini ingin menjelaskan bagaimana bentuk keterkaitan itu terjadi,
ditambah lagi jika dihubungkan dengan masalah pendidikan, yang mana perlu adanya tinjauan lebih jauh
lagi agar jika terjadi suatu perubahan dalam proses belajar mengajar kita dapat
menentukan apa tindakan yang harus dilakukan, bagaimana menyikapinya, baik itu
perubahan yang bersifat postif maupun negatif. Sehingga kita tidak perlu
bingung lagi jika suatu perubahan terjadi.
Penulisan
makalah ini juga tidak lepas dari sebuah tuntutan yang harus dilaksanakan,
yaitu merupakan tugas kelompok yang diberikan dosen kepada kami untuk kami
jelaskan kepada teman-teman kami sekalian, sehingga kita dapat belajar dan
berbagi ilmu bersama.
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan perubahan dalam kepemimpinan
2. Apa sajakah jenis-jenis perubahan dalam kepemimpinan
pendidikan
3. Apakah dampak dari perubahan dalam kepemimpinan
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui penyebab perubahan dalam kepemimpinan
2.
Untuk mengetahui
apa sajakah jenis-jenis perubahan dalam kepemimpinan pendidikan
3. Untuk mengetahui dampak dari perubahan dalam
kepemimpinan
BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan dalam Kartono 2003 yaitu
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan
pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai
tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok (Tead Terry Hoyt). Kepemimpinan itu
sendiri dilaksanankan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan secara mutlak
dalam artian seorang pemimpin.
Dalam pelaksanaannya, kepemimpinan terkadang tidak selalu berjalan
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh seorang pemimpin, yang mana ada hal-hal
yang membuat proses kepemimpinan itu berubah baik dengan sendirinya, tanpa disadari
atau terpaksa karena jika tidak melakukan tindakan perubahan akan berdampak
buruk pada suatu organisasi, golongan, dan sebagainya.
Perubahan menurut Ramlan S. merupakan hasil interaksi kepentingan yang secara ketat dikontrol,
bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi materiil elit yang terlibat.
2.1 Penyebab Terjadinya
Perubahan
1.
Faktor Eksternal
Faktor
eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar atau lingkungan. Sebagai pemimpin harus responsif terhadap berbagai perubahan
yang terjadi di lingkungannya. Teknologi, pemerintah, tuntutan pasar, dan arus globalisasi
termasuk dari faktor eksternal.
Perkembangan
dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan.
Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan
perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan,
jumlah, kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan, sistem penggajian yang diberlakukan, dan
bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan
baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada atau berubahnya pola hubungan kerja antara
karyawan. Karena dengan adanya perangkat baru ini bisa jadi mengalih
fungsikan tugas daripada karyawan tersebut.
Sekolah
juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem
pemerintahan tertentu. Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai
peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan
aturan baru maka sekolah harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan
perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu
dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi
SDM, maupun kompetensi lulusan yang
dihasilkan. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus
dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.
Sebagaimana
organisasi yang lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang
keberadaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk
(dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan
tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar terkait dengan
jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus mengakomodasi
jika ingin lulusannya diterima pasar.
Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus
globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Sekolah sebagai lembaga yang
menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar global sudah tentu harus tanggap terhadap tuntutan itu. Itulah
sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh oleh
sekolah seperti penerapan ISO, total quality management, peningkatan
kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya. Penerapan berbagai kebijakan
sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal sekolah, khususnya
menyangkut mekanisme kerja organisasi.
2.
Faktor Internal
Faktor
internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah
yang bersangkutan, antara lain:
a)
Persoalan hubungan antar komponen sekolah.
b)
Persoalan terkait dengan mekanisme kerja.
c)
Persoalan keuangan.
Hubungan
antar komponen sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang
lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem
yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem
yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat
horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan
keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan
pimpinan, dapat menyebabkan munculnya berbagai perilaku negatif pada
bawahan yang kurang menguntungkan
organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan
sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan
munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu
mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara
atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri
mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi
salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam
kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran
komunikasi yang digunakan.
Problem
yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah)
pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar atau macetnya komunikasi antar warga), dan
juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu
sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan,
misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang
digunakan.
Di
samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam
sebuah sekolah kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan.
Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula
terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang
terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan
suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan
hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat
kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya
jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam
hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah
struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.
Pengoperasian
sebuah lembaga pendidikan sudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan
keuangan yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya
perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur
organisasi, dan sebagainya.
2.2 Menyikapi Perubahan
1. Jenis perubahan
Perubahan
Terencana: perubahan terjadi pada kegiatan yang bersifat rutin dan kontinyu
terutama yang bersifat strategik dan tidak berulang.
4 fase perubahan terencana:
a) Fase eksplorasi: menggali
masalah dan memutuskan untuk membuat perubahan spesifik.
b) Fase perencanaan: menyangkut
pengumpulan informasi untuk menidagnosis masalah, menetapkan tujuan, dan
mendesain tindakan yang tepagt serta membujuk pengambil keputusan untuk
mendukung perubahan
c) Fase tindakan: implementasi
perubahan menyangkut disain untuk menggerakkan organisasi dan menciptakan
kendali dalam menuju perubahan
d) Fase integrasi: berkaitan
dengan konsolidasi dan stabilisasi perubahan meliputi perilaku cara pandang dan
perilaku diantaranya melalui; umpan balik, sistem penghargaan, dan pelatihan.
Perubahan
Tidak Terencana: merupakan pergeseran ativitas organisasial karena adanya
kekuatan eksternal yang berada di luar kontrol organisasi.
Lima
aspek perubahan tidak terencana yang
berhasil
a)
Perubahan Struktur Organisasi
b)
Perubahan Budaya Organisasi
c)
Penerapan Organisasi Pembelajar
d)
Perubahan Perilaku Manajerial
e)
Tekanan kekuasaan dan Politik
Kurt Lewindan Schein mereka berpendapat bahwa perubahan yang sukses dalam organisasi hendaknya mengikuti empat langkah,
a)
Keinginan untuk berubah (desire of
change), sebelum perubahan terjadi setiap individu harus merasakan suatuke butuhan, dapat berupa kekurangan-kekurangan dan ketidakpuasan selama ini serta adanya keinginan untuk meningkatkan,
b)
Pencairan
(unfreezing), yang meliputi memberikan dorongan, membujuk melalui pendekatan-pendekatan dengan mengurangi ancaman-ancaman maupun penolakkan sehingga setiap individu siap untuk berubah,
c)
Merubah (changging) yang meliputi
pemberian perubahan pada setiap individu melalui pembelajaran barupa sikap mereka,
dalam hal ini pekerja diberi informasi baru, model perilaku baru, dancara baru dalam
melihat sesuatu sehingga pekerja belajar denga sikap baru.
d)
Memantapkan
(refreezing) perubahan baru untuk membuat jadi permanen. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh
Burt padadasarnya pemimpin yang dapat menganalisa pemanfaatan teknologi merupakan unsur yang amat penting
(urgent) dalam kepemimpinan perubahan dan harus diperhitungkan.
Perubahan yang telah direncakan akan sukses kalau
organisasi atau satuan pendidikan memiliki kepemimpinan yang kuat. Suksesnya
pelaksanaan dan kontrol perubahan yang telah direncanakan akan tergantung pada
kuat dan efektivitasnya kepemimpinan dan visi sekolah yang jelas. Berdasarkan
hal tersebut, maka suksesnya perubahan sekolah dengan KTSP menuju kurikulum
2013 akan terletak pada kempimpinan kepala sekolah dalam memimpin perubahan.
Dalam manajemen perubahan, atau manajemen
transformasi, kepala sekolah harus dapat memimpin perubahan dengan kepemimpinan
transformasional. Karena perubahan lebih pada perubahan pembelajaran, maka
kepemimpinan tranformasional lebih ditekankan pada kepemimpinan pembelajaran.
2.
Mengapa
Perlu Berubah
Satuan Pendidikan adalah
suatu organisme yang hidup. Kehidupan satuan pendidikan akan tergantung
kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungannya. Strategi
adaptasi dapat bersifat proaktif atau reaktif. Satuan pendidikan adalah suatu
organisasi yang hidupnya itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar. Bila
satuan pendidikan akan tetap hidup dan efektif, maka satuan pendidikan tersebut
harus menyesesuaikan dengan perkembangan lingkungan luar. Perkembangan
lingkungan luar yang sangat berpengaruh terhadap satuan pendidikan adalah
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar kerja dan kebijakan pemerintah.
Satuan pendidikan itu
berubah agar menjadi organisasi yang efektif. Satuan pendidikan akan sangat
efektif bila mempunyai kemampuan untuk memahami perubahan lingkungan, dan
selanjutnya satuan pendidikan tersebut mampu merubah komponen internalnya
supaya sesuai dengan perkembangan di luar. Secara teoritis arah pengembangan
sekolah adalah mengembangkan komponen internal sekolah agar sesuai dengan
perubahan yang terjadi di lingkungan luar.
Perubahan di luar yang
terkait dengan pendidikan adalah komptensi manusia di masa depan. Menurut
Griffin (2010) komptensi manusia pada masa depan abad 21 terdapat empat
komptensi utama yaitu: (1) cara berpikir meliputi: kreatif dan inovatif;
berfikir kritis, pemecahan masalah, mampu membuat keputusan yang tepat; belajar
bagimana cara belajar yang baik, dan memiliki metakognisi; (2) cara kerja
meliputi: komunikasi dan kolaborasi/kerjasama; dan (3) alat bekerja meliputi:
melek informasi dan Teknologi Informasi dan Komunikasi)
Mengapa dilakukan perubahan
Perubahan dilakukan karena
adanya perubahan lingstra (lingkungan strategis) baik internal maupun eksternal
organisasi. Organisasi yang sukses dalam kondisi lingstra masa lampau belum
tentu sukses dalam kondisi lingstra masa kini dan masa depan, karena cara yang
dulu dapat diandalkan kini atau ke depan bisa saja menjadi usang
3. Tujuan perubahan
Untuk
memperbaiki kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan kondisi dan
tantangan lingkungan strategis yang aktual dan prospektif agar organisasi tetap
eksis dan berhasil mencapai tujuannya sesuai dengan tuntutan terkini dan masa
depan.
Lima isyarat perubahan menurut
Fulan (2004):
a) Perubahan bersifat cepat dan
non linier
b) Kebanyakan perubahan terjadi
sebagai respon terhadap terjadinya kekacauan dalam lingstra (Lingkungan
Strategis) organisasi.
c) Faktor rasional dalam
organisasi termasuk strategi dan SDM tidak terintegrasi dengan baik
d) Stake holders (Pemangku
Kepentingan) utama dan budaya organisasi menjadi pertimbangan utama perubahan
organisasional
Perubahan
tidak dapat dikendalikan, tetapi dapat difahami dan menjadi petunjuk untuk
melakukan perubahan. Kita tidak hanya sekedar mengelola perubahan, tetapi
justru yang lebih penting menciptakan perubahan.
4. Tahap-tahap Perubahan
Setiap
perubahan memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap
perubahan lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru
yang diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya
peningkatan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih
baik. Apa pun jenis tujuan yang hendak
dicapai, setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah
tertentu. Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam
mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
a) Menyadarkan seluruh warga
sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan (unfreezing).
b) Melaksanakan
perubahan/menerapkan sesuatu yang baru (changing).
c) Menstabilkan situasi setelah
perubahan dilaksanakan (refreezing).
Tahap
pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perubahan. Tahapan ini
berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal ini seluruh warga sekolah.
Manusia memegang posisi kunci dalam
proses perubahan. Mereka dapat merupakan kunci keberhasilan tetapi sebaliknya
dapat juga merupakan faktor penyebab gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh
karena itu faktor manusianya harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik
sebelum perubahan dilaksanakan.
Setelah
anggota menyadari arti pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah
perubahan yang sesungguhnya dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut
bisa sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat
perubahan berlangsung, sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi
chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi tetapi
aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna. Kondisi seperti itu wajar karena memang
sedang dalam masa transisi. Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti
dengan perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah.
Tahapan
berikutnya ialah mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali.
Setelah perubahan dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh,
demikian juga para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai
kondisi organisasi yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah
stabil sengaja ’dibuka’ sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang
terakhir ini kondisi yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.
Secara
lebih rinci, Wallace dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses
perubahan organisasi yang direncanakan (planned change) mencakup enam tahapan,
yaitu:
a) Dirasakannya kebutuhan untuk
melakukan perubahan
b) Pengenalan bidang permasalahan
c) Identifikasi hambatan
d) Pemilihan strategi perubahan
e) Pelaksanaan
f) Evaluasi
Tahap
berikutnya ialah identifikasi terhadap berbagai keterbatasan (constraints) yang
dihadapi oganisasi dalam melakukan perubahan. Berbagai keterbatasan itu
mencakup iklim kepemimpinan, struktur, organisasi, dan karakteristik anggota.
Iklim kepemimpinan ialah suasana kerja yang ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan
seseorang. Apakah suasana kerja cenderung menerima atau menolak terjadinya
perubahan banyak ditentukan oleh praktik kepemimpinan yang diterapkan
seseorang. Struktur yang fleksibel memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi
keberhasilan suatu program perubahan dibandingkan dengan struktur yang kaku dan
birokratis, kecuali jika strukturnya itu sendiri yang hendak diubah.
Berbagai
karakteristik individu (anggota) yang ikut menentukan keberhasilan program
perubahan organisasi antara lain: sikap, kepribadian, dan harapan.
Karakteristik-karakteristik tersebut harus ikut dipertimbangkan sehingga
aspek-aspek yang tidak mendukung dapat dihilangkan (setidak-tidaknya
dikurangi), sementara itu aspek-aspek yang mendukung dapat lebih ditingkatkan
perannya dalam mencapai keberhasilan perubahan yang dilaksanakan.
Setelah
mengenali berbagai keterbatasan yang ada, tahapan berikutnya ialah memilih
strategi perubahan yang sesuai. Harold Levitt (Wallace J.M. & A.D. Szilagy:
389) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan perubahan organisasi ada
empat macam strategi yang dapat dipilih, yaitu :
a) Perubahan struktur organisasi.
b) Perubahan teknologi.
c) Perubahan tugas.
d) Perubahan manusianya.
Perubahan
struktur berkenaan dengan pola hubungan kerja antar anggota. Sebagai contoh
perubahan dari pola sentralisasi ke dalam desentralisasi atau sebaliknya,
perubahan dari bentuk fungsional ke bentuk matrik, perubahan dari struktur yang
memiliki tingkat formalitas tinggi ke tingkat formalitas rendah, dan
sebagainya.
Tahap-tahap proses perubahan :
a) Tekanan dan desakan: Proses ini
dimulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan
perubahan. Misalnya ada perubahan penjualan, penurunan produktivitas dan sebagainya.
b) Intervensi dan reorientasi: Digunakan
untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para anggota
organisasi memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut. Pihak-pihak luar
sering digunakan, juga staff internal yang dipandang ahli serta dapat dipercaya
sebagai konsultan atau pengantar perubahan.
c) Diagnosa dan pengenalan masalah:
Informasi dikumpulkan dan dianalisa mana yang penting dan mana yang tidak
penting.
d) Penemuan dan komitmen pada
penyelesaian: Pengantar perubahan mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang
diketemukan dan masuk akal dengan menghindari metode-metode lama yang sama.
Bawahan didorong dan diajak untuk berpartisipasi, sehingga mereka lebih terikat
pada serangkaian kegiatan.
e) Percobaan dan hasil: Pada tahap
keempat diuji dalam program-program yang berskala kecil dan hasilnya dianalisa.
f) Pungutan dan penerimaan: Setelah
diuji dan sesuai dengan keinginan, harus diterima secara sukarela dan harus
menjadi sumber penguatan dan menimbulkan keterikatan pada perubahan.
5. Problem Pelaksanaan Perubahan
dan Cara Mengatasinya
Nadler
(1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan
organisasi terdapat tiga problem yang dihadapi, yaitu :
1. Resistensi atau penolakan
terhadap perubahan,
2. Pengawasan organisasi, dan
3. Kekuasaan
Yang
dimaksud resistensi terhadap perubahan ialah bahwa orang (anggota) cenderung
menolak perubahan dan berusaha
mempertahankan status dan kenyamanan
kerja sebagaimana yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perubahan akan membawa
mereka kepada situasi yang kacau sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai
kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam hilang, setidaknya
mengalami perubahan. Mereka sudah terbiasa dengan lingkungannya, menjalin
hubungan baik dengan teman-teman sejawat dan juga pimpinannya. Perubahan
organisasi akan merusak berbagai hubungan yang sudah terjalin tersebut. Kecuali
itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa
terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru nanti
tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau
setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari
berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Problem
kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal
(sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya
sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan
adanya perubahan, situasinya menjadi lain. Organisasi diliputi suasana kacau,
paling tidak selama masa transisi. Dalam keadaan seperti itu sukar memantau
tingkahlaku dan penampilan anggota. Dengan demikian sukar pula melakukan
tindakan perbaikan jika ternyata terjadi penyimpangan. Mekanisme pengawasan
sebagaimana tergambar dalam struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan
efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa
mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami
perubahan.
Problem yang ketiga menyangkut
masalah kekuasaan. Pada umumnya dalam sebuah organisasi (termasuk sekolah)
terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam
mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok seperti itu memiliki pengaruh yang
besar terhadap pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil
organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis
daripada rasional organisatoris. Mereka sudah memiliki ’kedudukan’ yang mapan
dalam struktur yang berlaku. Dengan adanya perubahan organisasi, suasana
menjadi kacau sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan
juga kelompok-kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki
posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat menyebabkan
tujuan perubahan itu sendiri tidak tercapai, atau setidak-tidaknya mengurangi
keefektifan pencapaian tujuan perubahan.
Terhadap
problem resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti
pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan
demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam
program perubahan yang dilaksanakan. Terhadap problem pengawasan, perlu
dilakukan persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi
tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali. Sementara itu
terhadap problem kekuasaan, perlu diciptakan mekanisme politik yang dinamis dan
sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan organisasi.
2.3 Dampak Perubahan
1.
Dampak Positif
Dampak yang dihasilkan akan positif jika proses
penanganan suatu perubahan mulai dari identifikasi sebuah perubahan sampai
tindakan yang dilakukan dalam menyikapi perubahan tersebut sesuai dengan keadaan
sekitar. Namun jika salah satu komponen ada yang tidak sesuai, pasti hasilnya
kurang atau bahkan berdampak negatif bagi lingkungan internal maupun eksternal.
2. Dampak negatif
Ini terjadi dikarenakan tidak adanya kesinambungan antara
sebab terjadinya dengan cara penanganannya, kurangnya koordinasi antar sesama
komponen.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1
Kesimpulan
Sebuah perubahan akan menjadi baik atau tidak tergantung
bagaimana cara meyikapinya, terutama peran seorang pemimpin yang mana mempunyai
wewenang atau kekuasaan tertinggi atas segala keputusan yang diambil sangatlah
mempengaruhi. Jadi dalam konteks ini seorang pemimpin memang haruslah bijaksana
dan pintar dalam menanggapi, menilai sebuah perubahan dan mengambil langkah
untuk menyikapi perubahan tersebut.
3.2
Saran
DAFTAR
PUSTAKA