Rabu, 06 November 2013

Muromachi Bakufu (1333 – 1573

Muromachi Bakufu
(1333 – 1573)

Kenmu Shinsei (建武新政)
Ketika Kamakura Bakufu diambang kejatuhan, kaisar Godaigo kembali ke Kyoto dari pengasingannya di gunung Okinoshima. Kondisi di istana Kyoto saat itu sangat kalut , terlebih ikut campurnya pihak bakufu menyangkut masalah pergantian kaisar. Pada awal abad ke 14 setelah masa pemerintahan kaisar Gosaga, garis keturunan kaisar terbagi menjadi dua. Yaitu keturunan Jimyoin dan keturunan Daikakuji.
Ketika pemerintahan Kamakura Bakufu jatuh pada tahun 1333 M, saat itu kaisar Godaigo yang memegang pemerintahan dan menolak campur tangan kuil maupun bakufu. Dia memberikan kedudukan yang sama kepada kaum bangsawan dan kaum militer militer dalam bidang pemerintahan. Kebijakan ini dikenal dengan nama Restorasi Kenmu. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan ini malah semakin memperburuk keadaan saat itu, pertentangan yang terjadi antara kaum bangsawan dengan kaum militer semakin parah karena mereka saling berebut posisi sebagai pelaksana pemerintahan.
            Restorasi tersebut hanya berlangsung sampai 1336 M, karena pada tahun itu Ashikaga Takauji yang sebelumya membantu kaisar, berbalik menentang kaisar yang ingin memerintah sendiri. Ashikaga yang tidak puas kembali ke Kamakura dan mengumpulkan kaum militer yang anti istana untuk kemudian menyerang istana Kyoto. Pemerintahan kaisar Godaigo yang baru berumur kurang dari dua tahun pun berakhir.

Nanbokuchō Tairitsu
          Kaisar Godaigo yang kalah dalam pemberontakan lalu mundur ke Yoshino (di Nara) dan mendirikan istana Nanchō (istana selatan) di sana. Sementara itu di Kyōto telah diangkat kaisar baru. Karena itu pada tahun 1336 M –1392 M ada dua orang Tennō. Tennō yang di utara/Kyōto (Tennō Kōmyō) dan Tennō yang di selatan/Yoshino (Tennō Godaigo). Tennō yang di utara mendirikan istana Hokuchō (istana utara). Sehingga pada rentang waktu tersebut dikenal juga dengan zaman Nanbokuchō Tairitsu (zaman perselisihan istana di utara dan selatan).
            Karena jasa-jasanya tahun 1338 M, Tennō Kōmyō mengangkat Ashikaga Takauji sebagai Seiitai Shōgun/Panglima Besar Berkuasa Penuh dan mendirikan bakufu di Kamakura.

Periode Muromachi(室町幕府)
            Bakufu yang didirikan Ashikaga Takauji mempunyai ciri khas, yaitu penjamin dan pendukung politik istana kaisar. Berlainan dengan pemerintahan militer Kamakura yang membatasai secara ketat kekuasaan politik kaisar. Ashikaga Takauji menjalankan pemerintahan diarki. Dirinya menjadi kepala kalangan samurai, sedangkan adiknya yang bernama Ashikaga Tadayoshi menjadi kepala administrasi pemerintahan. Namun pemerintahan diarki tersebut ternyata menimbulkan konflik internal dalam keshōgunan, yaitu di antara keduanya terjadi perselisihan yang menyebabkan kerusuhan.
         Kō no Mōronao beserta pendukungnya yang anti-Tadayoshi berhadapan dengan kelompok pro-Tadayoshi. Takauji yang semulanya bersikap netral akhirnya memihak Mōronao. Tadayoshi dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya dan dijadikan biksu. Putra Takauji yang bernama Yoshiakira menggantikan Tadayoshi sebagai kepala pemerintahan. Setelah Tadayoshi mengundurkan diri, putra angkatnya yang bernama Ashikaga Tadafuyu melarikan diri ke Kyūshū dan memberontak terhadap Shōgun.
         Pada tahun 1350 M, ketika Takauji memimpin ekspedisi untuk menghabisi Tadafuyu, Tadayoshi melarikan diri dari Kyōto dan bergabung dengan istana selatan. Pasukan Tadayoshi menjadi semakin kuat, sehingga Yoshiakira melarikan diri dari Kyōto karena kalah perang. Pasukan Takauji juga kalah melawan pasukan Tadayoshi. Tahun 1351 M, Takauji berdamai dengan Tadayoshi dengan syarat Kō no Mōronao dan Kō no Mōrouji dijadikan biksu. Tadayoshi kembali menjadi sebagai pembantu Yoshiakira. Takauji dan Yoshiakira memiliki rencana untuk menghabisi Tadayoshi dan Tadafuyu. Namun Tadayoshi lebih dahulu melarikan diri. Di tahun 1351 M juga Tadayoshi tertangkap.
         Tahun 1392 M Shōgun  generasi ke-3 yaitu Ashikaga Yoshimitsu (cucu Ashikaga Takauji) memindahkan bakufu dari Kamakura ke Moromachi, dan mendirikan bakufu Muromachi. Maka mulai tahun 1392 M – 1573 M disebut zaman Muromachi. Tahun 1392 M Ashikaga Yoshimitsu mendamaikan istana utara dan istana selatan yang sebelumnya berselisih. Tennō yang di selatan kembali ke Kyoto dan mengundurkan diri serta mengakui Tennō utara sebagai penggantinya.
         Tahun 1394 M Ashikaga Yoshimitsu menyerahkan jabatan Shōgun  kepada anaknya, kemudian ia mengundurkan diri tetapi masih tetap memerintah. Ashikaga Yoshimitsu yang mengundurkan diri ke Kitayama (dekat Kyoto) mendirikan paviliun emas (Kinkaku).
         Setelah Yoshimitsu meninggal tahun 1408 M, timbul kekacauan dalam pemerintahan. Terjadi percampuran Kuge (golongan bangsawan) dan Buke (golongan militer) yang berlanjut pula dalam budayanya, yaitu timbulnya Bukebunka (kebudayaan militer-bangsawan). Dalam kenyataannya, golongan Kuge kalah dari golongan Buke sehingga golongan Kuge jatuh miskin.
         Di ibukota Kyoto, Bakufu berkuasa tetapi kekuasaannya tidak mendapat penghargaan dari Daimyō. Bakufu tidak mampu mengatasi kekacauan pemerintahan yang disebabkan oleh Daimyō-Daimyō yang saling berperang untuk memperluas daerah dan lingkungan kekuasaannya.
         Meskipun pemerintahan dalam negeri sedang kacau, tapi perdagangan baik di dalam maupun luar negeri mengalami kemajuan yang pesat. Bahkan pada tahun 1543 M Jepang membuka hubungan dagang dengan Portugis. Tahun 1549 M Franciscus Xaverius memasukkan agama Kristen ke Jepang. Selain agama, tembakau dan senjata api juga masuk ke Jepang.
         Kemudian pihak istana selatan yang dipimpin pangeran Muneyoshi, Nitta Yoshioki, Nitta Yoshimune, dan Hōjō Tokiyuki menyerang pasukan Takauji. Tahun 1354 M, pihak istana selatan untuk sementara berhasil menduduki Kyoto. Tapi tahun 1355 M, berhasil direbut kembali oleh pihak istana utara.
Struktur pemerintahan pada zaman ini hampir sama dengan struktur pemerintahan zaman Kamakura. Hanya saja kedudukan shikken berada dibawah shogun yang dijabat oleh kanrei. Tugas kanrei mengawasi pemerintahan secara keseluruhan. Di bawah kanrei masih tetap samurai mondokoro, mandokoro dan mochujo. Posisi kanrei secara bergantian dipegang oleh keluarga Ashikaga, Hoshokawa, Shiba dan Hatakeyama.
     Karakteristik pada zaman Muromachi antara lain, semakin kuatnya posisi para pembesar tuan tanah daerah, semakin meningkatnya kekuatan petani dan pembangsawanan kaum militer. Dampak lain akibat pertentangan istana utara dengan selatan adalah semakin kuatnya posisi para polisi jagabaya di daerah-daerah. Mereka dikenal dengan sebutan Shugo Daimyo (pembesar tuan tanah daerah).

Perang Ounin
         Pada masa pemerintahan Ashikaga Yoshimasa (Shōgun  generasi ke-8), pemerintahan semakin kacau. Dia mendirikan paviliun perak (Ginkaku) di Higashiyama. Untuk membiayai pembangunan paviliun tersebut harus ditarik pajak yang besar dari rakyat. Rakyat pun mengadakan pemberontakan. Puncak kekacauan terjadi pada perang Onin (Onin no ran) yang berlangsung 11 tahun (1467 M – 1477 M). Perang itu disebabkan oleh perselisihan dua orang pemimpin militer yaitu Yamanaka Sozen dan Hosokawa Katsumoto. Perang tersebut merupakan suatu tanda dari permulaan pergolakan mati-matian yang baru dapat diakhiri tahun 1615 M. Masa peperangan selama 100 tahun lebih tersebut disebut sebagai Sengoku jidai (zaman negara-negara berperang).
         Bakufu Moromachi jatuh setelah Oda Nobunaga berhasil merampas Kyōto.

Kebudayaan
         Dari segi arsitektur dibuat bangunan yang sangat megah seperti Kinkaku dan Ginkaku. Dari segi seni lahirlah seni minum teh (sado) dan seni merangkai bunga (ikebana), serta lukisan dengan tinta Cina (suibokuga). Dari segi pertunjukan, lahirlah drama dan Kyōgen (lelucon). Nō diciptakan oleh Kan’ami dan Zeami. Dari segi pertanian, petani telah mampu membuat kincir angin dan sistem tumpang sari. Dari bidang sastra pantun bersambung yang dikenal dengan nama renga. Lalu ada juga haiku, pantun bebas yang telah melepasakan diri dari ikatan-ikatan waka.

Peninggalan
         Bangunan yang paling terkenal pada zaman ini adalah Kinkaku dan Ginkaku. Kinkaku atau paviliun emas didirikan oleh Ashikaga Yoshimitsu. Bangunannya mengambil gaya arsitektur bangsawan dan gaya kuil Zen di Cina yang seluruhnya dilapisi emas. Sedangkan Ginkaku atau paviliun perak didirikan oleh Ashikaga Yoshimasa. Bangunannya mengambil gaya arsitektur kuil Zen yang disebut Shōinzukuri. Shōinzukuri merupakan gaya bangunan yang di dalamnya terdapat Tokonoma, Chigaidana (rak), Tatami (lantai tikar), Fusuma (pintu geser dari kertas), dan Akarishōji (jendela kertas). Gaya ini menjadi dasar rumah gaya Jepang sekarang.

Daftar Pustaka
1.     Kazuma-world.blogspot.com/.../feodalisme-jepang-zaman-muromach...
2.     Pengantar Sejarah Jepang I oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya, M.A






blue sky

Habataitara modoranai to itteMezashita no wa aoi aoi ano sora
Kanashimi wa mada oboerarezuSetsunasa wa ima tsukami hajimetaAnata e to idaku kono kanjou moIma kotoba ni kawatteku
Michinaru sekai no yume kara mezameteKono hane wo hiroge tobitatsu
Habataitara modorenai to itteMezashita no wa shiroi shiroi ano kumoTsuki nuketara mitsukaru to shitteFurikiru hodoAoi aoi ano soraAoi aoi ano soraAoi aoi ano sora
Aisou tsukita you na oto de 
Sabireta furui mado wa kowaretaMiakita kago wa hora soteteikuFurikaeru koto wa mou naiTakanaru kodou ni kokyuu wo azuketekono mada wo kette tobitatsu
Kakedashitara te ni dekiru to itteizanau no wa tooi tooi ano koe
mabushi sugita anata no te mo nigittemotomeru hodo aoi aoi ano sora
ochite iku to wakatteitasoredemo hikari wo oi tsuduketeiku yo
Habataitara modoranai to ittesagashita no wa shiroi shiroi ano kumotsukinuketara mitsukaru to shittefurikiru hodo aoi aoi ano soraaoi aoi ano soraaoi aoi ano sora


MAKALAH KEPEMIMPINAN DAN PERUBAHAN

MAKALAH
KEPEMIMPINAN DAN PERUBAHAN

Description: Description: brawijaya.png















Oleh:
Kelompok 3
1.   Dinanti Putri Utami              (125110600111007)
2.   Nandia Hurin Ain                 (125110600111032)
3.   Yana Yuliandani                   (125110601111006)
4.   Maria Apriliani N                  (125110607111006)
5.   Ahrozu Junda M. I.              (125110600111016)

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JEPANG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2013/2014
KATA PENGANTAR




Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah senantiasa melimpahkan Rahmat dan Hidayah- NYA sehingga kita semua dalam keadaan sehat walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Penyusun juga panjatkan kehadiran ALLAH SWT, karena hanya dengan kerido’an-NYA Makalah dengan judul “KEPEMIMPPINAN DAN PERUBAHAN” ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari betul sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, makalah ini tidak akan terwujud dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis berharap saran dan kritik demi perbaikan-perbaikan lebih lanjut.

Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membutuhkan.










Malang, 22 Oktober  2013




Penulis








BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Berbicara tentang kepemimpinan dan perubahan, pastilah keduanya memiliki keterkaitan. Kami di sini ingin menjelaskan bagaimana bentuk keterkaitan itu terjadi, ditambah lagi jika dihubungkan dengan masalah pendidikan,  yang mana perlu adanya tinjauan lebih jauh lagi agar jika terjadi suatu perubahan dalam proses belajar mengajar kita dapat menentukan apa tindakan yang harus dilakukan, bagaimana menyikapinya, baik itu perubahan yang bersifat postif maupun negatif. Sehingga kita tidak perlu bingung lagi jika suatu perubahan terjadi.
Penulisan makalah ini juga tidak lepas dari sebuah tuntutan yang harus dilaksanakan, yaitu merupakan tugas kelompok yang diberikan dosen kepada kami untuk kami jelaskan kepada teman-teman kami sekalian, sehingga kita dapat belajar dan berbagi ilmu bersama.

1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa yang menyebabkan perubahan dalam kepemimpinan
2.      Apa sajakah jenis-jenis perubahan dalam kepemimpinan pendidikan
3.      Apakah dampak dari perubahan dalam kepemimpinan

1.3    Tujuan
1.      Untuk mengetahui penyebab perubahan dalam kepemimpinan
2.      Untuk mengetahui apa sajakah jenis-jenis perubahan dalam kepemimpinan pendidikan
3.      Untuk mengetahui dampak dari perubahan dalam kepemimpinan






BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan dalam Kartono 2003 yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok (Tead Terry Hoyt). Kepemimpinan itu sendiri dilaksanankan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan secara mutlak dalam artian seorang pemimpin.
Dalam pelaksanaannya, kepemimpinan terkadang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh seorang pemimpin, yang mana ada hal-hal yang membuat proses kepemimpinan itu berubah baik dengan sendirinya, tanpa disadari atau terpaksa karena jika tidak melakukan tindakan perubahan akan berdampak buruk pada suatu organisasi, golongan, dan sebagainya.
Perubahan menurut Ramlan S. merupakan hasil interaksi kepentingan yang secara ketat dikontrol, bahkan ditentukan oleh posisi sosial atau kondisi materiil elit yang terlibat.

2.1  Penyebab Terjadinya Perubahan
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah penyebab perubahan yang berasal dari luar atau lingkungan. Sebagai pemimpin  harus responsif terhadap berbagai perubahan yang terjadi di lingkungannya. Teknologi, pemerintah, tuntutan pasar, dan arus globalisasi termasuk dari faktor eksternal.
Perkembangan dan kemajuan teknologi merupakan penyebab penting dilakukannya perubahan. Penerapan temuan teknologi tersebut menyebabkan  perubahan dalam berbagai hal, misalnya prosedur kerja yang dilakukan, jumlah, kompetensi, dan kualifikasi SDM yang diperlukan,  sistem penggajian yang diberlakukan, dan bahkan kadang-kadang struktur organisasi yang digunakan. Penggunaan peralatan baru bisa juga menyebabkan berkurangnya bagian-bagian yang ada  atau berubahnya pola hubungan kerja antara karyawan. Karena dengan adanya perangkat baru ini bisa jadi mengalih fungsikan tugas daripada karyawan tersebut.
Sekolah juga terselenggara di tengah-tengah masyarakat yang menganut sistem pemerintahan tertentu. Konsekuensinya, sekolah harus tunduk kepada berbagai peraturan pemerintah yang berlaku. Jika suatu saat pemerintah memberlakukan aturan baru maka sekolah harus melaksanakannya dengan kemungkinan melakukan perubahan internal sesuai dengan isi peraturan baru tersebut. Peraturan itu dapat saja menyangkut input, mekanisme kerja, persyaratan kualifikasi dan kompetensi SDM, maupun  kompetensi lulusan yang dihasilkan. Peraturan apapun yang pada akhirnya diberlakukan di sekolah, harus dilaksanakan dengan cara dan strategi yang paling efisien.
Sebagaimana organisasi yang lain, sekolah juga merupakan lembaga pelayan masyarakat yang keberadaannya dalam rangka memenuhi kebutuhan pelanggan. Oleh karena itu produk (dalam hal ini lulusan) yang dihasilkan harus senantiasa menyesuaikan dengan tuntutan pelanggan/pasar. Pada kenyataannya tuntutan pasar terkait dengan jumlah maupun kompetensi lulusan senantiasa mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Menghadapi kondisi seperti itu mau tidak mau sekolah harus mengakomodasi jika ingin lulusannya diterima pasar.
 Akhir-akhir ini tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi tidak mungkin dibendung lagi. Sekolah sebagai lembaga yang menyiapkan SDM yang nantinya akan terjun ke pasar global sudah tentu harus  tanggap terhadap tuntutan itu. Itulah sebabnya berbagai strategi dan kebijakan yang dianggap sesuai, ditempuh oleh sekolah seperti penerapan ISO, total quality management, peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru, dan sejenisnya. Penerapan berbagai kebijakan sperti itu akan mengubah secara signifikan kondisi internal sekolah, khususnya menyangkut mekanisme kerja organisasi.
2. Faktor Internal
Faktor internal adalah penyebab dilakukannya perubahan yang berasal dari dalam sekolah yang bersangkutan, antara lain:
a)    Persoalan hubungan antar komponen sekolah.
b)   Persoalan terkait dengan mekanisme kerja.
c)    Persoalan keuangan.
Hubungan antar komponen sekolah yang kurang harmonis merupakan salah satu problem yang lazim terjadi. Problem ini dapat dibedakan lagi menjadi dua, yaitu (1) problem yang menyangkut hubungan atasan-bawahan (bersifat vertikal), dan (2) problem yang menyangkut hubungan sesama anggota yang kedudukannya setingkat (bersifat horizontal). Problem atasan-bawahan yang sering timbul menyangkut pengambilan keputusan dan komunikasi. Problem-problem yang bersumber dari keputusan pimpinan, dapat menyebabkan munculnya berbagai perilaku negatif pada bawahan  yang kurang menguntungkan organisasi, misalnya sering terlambat datang, sering absen, mangkir, dan sejenisnya. Sampai pada titik tertentu, problem semacam itu dapat menyebabkan munculnya unjukrasa sehingga memaksa pimpinan untuk mengambil tindakan yaitu mengubah keputusan yang diambil atau justru menindak  bawahan yang berunjukrasa. Komunikasi antara atasan dan bawahan juga sering menimbulkan problem. Keputusannya sendiri mungkin baik (dalam arti dapat diterima oleh bawahan) tetapi karena terjadi salah informasi (miscommunication), bawahan menolak keputusan pimpinan. Dalam kasus seperti itu perubahan yang dilakukan akan menyangkut sistem saluran komunikasi yang digunakan.
Problem yang sering timbul berkaitan dengan hubungan sesama anggota (warga sekolah) pada umumnya menyangkut masalah komunikasi (kurang lancar  atau macetnya komunikasi antar warga), dan juga menyangkut masalah kepentingan masing-masing warga. Persoalan seperti itu sering menimbulkan konflik antar warga sehingga perlu dilakukan perubahan, misalnya dalam hal jalur komunikasi atau bahkan struktur organisasi yang digunakan.
Di samping berbagai persoalan di atas, mekanisme kerja yang berlangsung dalam sebuah sekolah kadang-kadang juga merupakan penyebab dilakukannya perubahan. Problem yang timbul dapat menyangkut masalah sistemnya sendiri dan dapat pula terkait dengan perlengkapan atau peralatan yang digunakan. Pola kerjasama yang terlalu birokratis atau sebaliknya terlalu bebas misalnya, dapat menyebabkan suatu organisasi menjadi tidak efisien. Sistem yang terlalu kaku menyebabkan hubungan antar anggota menjadi impersonal yang mangakibatkan rendahnya semangat kerja dan pada gilirannya menurunkan produktivitas kerja. Demikian juga halnya jika sistem yang digunakan terlalu bebas. Perubahan yang harus dilakukan dalam hal ini akan menyangkut struktur organisasi yang digunakan. Dengan mengubah struktur, pola hubungan antar anggota akan mengalami perubahan.
Pengoperasian sebuah lembaga pendidikan sudah barang tentu memerlukan uang. Kesulitan keuangan yang dialami sekolah kadang-kadang juga memaksa untuk dilakukannya perubahan, misalnya penciutan daerah operasi, rasionalisasi, perubahan struktur organisasi, dan sebagainya.




2.2  Menyikapi Perubahan
1.    Jenis perubahan
Perubahan Terencana: perubahan terjadi pada kegiatan yang bersifat rutin dan kontinyu terutama yang bersifat strategik dan tidak berulang.
4 fase perubahan terencana:
a)    Fase eksplorasi: menggali masalah dan memutuskan untuk membuat perubahan spesifik.
b)   Fase perencanaan: menyangkut pengumpulan informasi untuk menidagnosis masalah, menetapkan tujuan, dan mendesain tindakan yang tepagt serta membujuk pengambil keputusan untuk mendukung perubahan
c)    Fase tindakan: implementasi perubahan menyangkut disain untuk menggerakkan organisasi dan menciptakan kendali dalam menuju perubahan
d)   Fase integrasi: berkaitan dengan konsolidasi dan stabilisasi perubahan meliputi perilaku cara pandang dan perilaku diantaranya melalui; umpan balik, sistem penghargaan,  dan pelatihan.
Perubahan Tidak Terencana: merupakan pergeseran ativitas organisasial karena adanya kekuatan eksternal yang berada di luar kontrol organisasi.
Lima aspek perubahan  tidak terencana yang berhasil
a)    Perubahan Struktur Organisasi
b)   Perubahan Budaya Organisasi
c)    Penerapan Organisasi Pembelajar
d)   Perubahan Perilaku Manajerial
e)    Tekanan kekuasaan dan Politik
Kurt Lewindan Schein mereka berpendapat bahwa perubahan yang sukses dalam organisasi hendaknya mengikuti empat langkah,
a)    Keinginan untuk berubah (desire of change), sebelum perubahan terjadi setiap individu harus merasakan suatuke butuhan, dapat berupa kekurangan-kekurangan dan ketidakpuasan selama ini serta adanya keinginan untuk meningkatkan,
b)   Pencairan (unfreezing), yang meliputi memberikan dorongan, membujuk melalui pendekatan-pendekatan dengan mengurangi ancaman-ancaman maupun penolakkan sehingga setiap individu siap untuk berubah,
c)    Merubah (changging) yang meliputi pemberian perubahan pada setiap individu melalui pembelajaran barupa sikap mereka, dalam hal ini pekerja diberi informasi baru, model perilaku baru, dancara baru dalam melihat sesuatu sehingga pekerja belajar denga sikap baru.
d)   Memantapkan (refreezing) perubahan baru untuk membuat jadi permanen. Definisi kepemimpinan yang dikemukakan oleh Burt padadasarnya pemimpin yang dapat menganalisa pemanfaatan teknologi merupakan unsur yang amat penting (urgent) dalam kepemimpinan perubahan dan harus diperhitungkan. 
Perubahan yang telah direncakan akan sukses kalau organisasi atau satuan pendidikan memiliki kepemimpinan yang kuat. Suksesnya pelaksanaan dan kontrol perubahan yang telah direncanakan akan tergantung pada kuat dan efektivitasnya kepemimpinan dan visi sekolah yang jelas. Berdasarkan hal tersebut, maka suksesnya perubahan sekolah dengan KTSP menuju kurikulum 2013 akan terletak pada kempimpinan kepala sekolah dalam memimpin perubahan.
Dalam manajemen perubahan, atau manajemen transformasi, kepala sekolah harus dapat memimpin perubahan dengan kepemimpinan transformasional. Karena perubahan lebih pada perubahan pembelajaran, maka kepemimpinan tranformasional lebih ditekankan pada kepemimpinan pembelajaran.
2.    Mengapa Perlu Berubah
Satuan Pendidikan adalah suatu organisme yang hidup. Kehidupan satuan pendidikan akan tergantung kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungannya. Strategi adaptasi dapat bersifat proaktif atau reaktif. Satuan pendidikan adalah suatu organisasi yang hidupnya itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan luar. Bila satuan pendidikan akan tetap hidup dan efektif, maka satuan pendidikan tersebut harus menyesesuaikan dengan perkembangan lingkungan luar. Perkembangan lingkungan luar yang sangat berpengaruh terhadap satuan pendidikan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pasar kerja dan kebijakan pemerintah.
Satuan pendidikan itu berubah agar menjadi organisasi yang efektif. Satuan pendidikan akan sangat efektif bila mempunyai kemampuan untuk memahami perubahan lingkungan, dan selanjutnya satuan pendidikan tersebut mampu merubah komponen internalnya supaya sesuai dengan perkembangan di luar. Secara teoritis arah pengembangan sekolah adalah mengembangkan komponen internal sekolah agar sesuai dengan perubahan yang terjadi di lingkungan luar.
Perubahan di luar yang terkait dengan pendidikan adalah komptensi manusia di masa depan. Menurut Griffin (2010) komptensi manusia pada masa depan abad 21 terdapat empat komptensi utama yaitu: (1) cara berpikir meliputi: kreatif dan inovatif; berfikir kritis, pemecahan masalah, mampu membuat keputusan yang tepat; belajar bagimana cara belajar yang baik, dan memiliki metakognisi; (2) cara kerja meliputi: komunikasi dan kolaborasi/kerjasama; dan (3) alat bekerja meliputi: melek informasi dan Teknologi Informasi dan Komunikasi)
Mengapa dilakukan perubahan
Perubahan dilakukan karena adanya perubahan lingstra (lingkungan strategis) baik internal maupun eksternal organisasi. Organisasi yang sukses dalam kondisi lingstra masa lampau belum tentu sukses dalam kondisi lingstra masa kini dan masa depan, karena cara yang dulu dapat diandalkan kini atau ke depan bisa saja menjadi usang
3.    Tujuan perubahan
Untuk memperbaiki kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan kondisi dan tantangan lingkungan strategis yang aktual dan prospektif agar organisasi tetap eksis dan berhasil mencapai tujuannya sesuai dengan tuntutan terkini dan masa depan.
Lima isyarat perubahan menurut Fulan (2004):
a)    Perubahan bersifat cepat dan non linier
b)   Kebanyakan perubahan terjadi sebagai respon terhadap terjadinya kekacauan dalam lingstra (Lingkungan Strategis) organisasi.
c)    Faktor rasional dalam organisasi termasuk strategi dan SDM tidak terintegrasi dengan baik
d)   Stake holders (Pemangku Kepentingan) utama dan budaya organisasi menjadi pertimbangan utama perubahan organisasional
Perubahan tidak dapat dikendalikan, tetapi dapat difahami dan menjadi petunjuk untuk melakukan perubahan. Kita tidak hanya sekedar mengelola perubahan, tetapi justru yang lebih penting menciptakan perubahan.
4.    Tahap-tahap Perubahan
Setiap perubahan memiliki tujuan tertentu yang dapat berupa upaya penyesuaian terhadap perubahan lingkungan (misalnya selera konsumen berubah, adanya peraturan baru yang diberlakukan pemerintah, kemajuan teknologi, dan lain-lain) dan upaya peningkatan efisiensi organisasi dalam rangka mencapai kondisi yang lebih baik.  Apa pun jenis tujuan yang hendak dicapai, setiap perubahan harus disiapkan dengan baik mengikuti langkah-langkah tertentu. Secara sederhana, tahapan (langkah-langkah) yang harus ditempuh dalam mengadakan perubahan sekolah adalah sebagai berikut:
a)    Menyadarkan seluruh warga sekolah bahwa perubahan tertentu perlu dilakukan (unfreezing).
b)   Melaksanakan perubahan/menerapkan sesuatu yang baru (changing).
c)    Menstabilkan situasi setelah perubahan dilaksanakan (refreezing).
Tahap pertama ialah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perubahan. Tahapan ini berkenaan dengan faktor manusianya, dalam hal ini seluruh warga sekolah. Manusia  memegang posisi kunci dalam proses perubahan. Mereka dapat merupakan kunci keberhasilan tetapi sebaliknya dapat juga merupakan faktor penyebab gagalnya perubahan yang dilakukan. Oleh karena itu faktor manusianya harus terlebih dahulu disiapkan dengan baik sebelum perubahan dilaksanakan.
Setelah anggota menyadari arti pentingnya perubahan yang hendak dilakukan, barulah perubahan yang sesungguhnya dilaksanakan. Konsekuensi dari perubahan tersebut bisa sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Saat-saat perubahan berlangsung, sekolah berada dalam kondisi kritis dan sering terjadi chaos karena aturan yang lama sudah ditinggalkan/tidak berlaku lagi tetapi aturan yang baru belum berjalan dengan sempurna.  Kondisi seperti itu wajar karena memang sedang dalam masa transisi. Penerapan sesuatu yang baru dapat saja diikuti dengan perubahan sikap dan tingkahlaku warga sekolah. 
Tahapan berikutnya ialah mengembalikan sekolah kepada situasi yang normal kembali. Setelah perubahan dilaksanakan, berbagai aturan baru diberlakukan secara penuh, demikian juga para anggota diharapkan bersikap dan bertingkahlaku sesuai kondisi organisasi yang baru. Jika pada tahapan pertama kondisi yang sudah stabil sengaja ’dibuka’ sehingga siap menerima perubahan, maka pada tahapan yang terakhir ini kondisi yang berubah tadi ’ditutup’, agar stabil kembali.
Secara lebih rinci, Wallace dan Szilagyi (1982: 386) mengemukakan bahwa proses perubahan organisasi yang direncanakan (planned change) mencakup enam tahapan, yaitu:
a)    Dirasakannya kebutuhan untuk melakukan perubahan
b)   Pengenalan bidang permasalahan
c)    Identifikasi hambatan
d)   Pemilihan strategi perubahan
e)    Pelaksanaan
f)    Evaluasi
Tahap berikutnya ialah identifikasi terhadap berbagai keterbatasan (constraints) yang dihadapi oganisasi dalam melakukan perubahan. Berbagai keterbatasan itu mencakup iklim kepemimpinan, struktur, organisasi, dan karakteristik anggota. Iklim kepemimpinan ialah suasana kerja yang ditimbulkan oleh gaya kepemimpinan seseorang. Apakah suasana kerja cenderung menerima atau menolak terjadinya perubahan banyak ditentukan oleh praktik kepemimpinan yang diterapkan seseorang. Struktur yang fleksibel memberikan kemungkinan yang lebih besar bagi keberhasilan suatu program perubahan dibandingkan dengan struktur yang kaku dan birokratis, kecuali jika strukturnya itu sendiri yang hendak diubah.
Berbagai karakteristik individu (anggota) yang ikut menentukan keberhasilan program perubahan organisasi antara lain: sikap, kepribadian, dan harapan. Karakteristik-karakteristik tersebut harus ikut dipertimbangkan sehingga aspek-aspek yang tidak mendukung dapat dihilangkan (setidak-tidaknya dikurangi), sementara itu aspek-aspek yang mendukung dapat lebih ditingkatkan perannya dalam mencapai keberhasilan perubahan yang dilaksanakan.
Setelah mengenali berbagai keterbatasan yang ada, tahapan berikutnya ialah memilih strategi perubahan yang sesuai. Harold Levitt (Wallace J.M. & A.D. Szilagy: 389) mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan perubahan organisasi ada empat macam strategi yang dapat dipilih, yaitu :
a)    Perubahan struktur organisasi.
b)   Perubahan teknologi.
c)    Perubahan tugas.
d)   Perubahan manusianya.
Perubahan struktur berkenaan dengan pola hubungan kerja antar anggota. Sebagai contoh perubahan dari pola sentralisasi ke dalam desentralisasi atau sebaliknya, perubahan dari bentuk fungsional ke bentuk matrik, perubahan dari struktur yang memiliki tingkat formalitas tinggi ke tingkat formalitas rendah, dan sebagainya.
Tahap-tahap proses perubahan :
a)    Tekanan dan desakan: Proses ini dimulai ketika manajemen puncak mulai merasa adanya kebutuhan atau tekanan akan perubahan. Misalnya ada perubahan penjualan, penurunan produktivitas dan sebagainya.


b)   Intervensi dan reorientasi: Digunakan untuk merumuskan masalah dan memulai proses dengan membuat para anggota organisasi memusatkan perhatiannya pada masalah tersebut. Pihak-pihak luar sering digunakan, juga staff internal yang dipandang ahli serta dapat dipercaya sebagai konsultan atau pengantar perubahan.
c)    Diagnosa dan pengenalan masalah: Informasi dikumpulkan dan dianalisa mana yang penting dan mana yang tidak penting.
d)   Penemuan dan komitmen pada penyelesaian: Pengantar perubahan mencoba menyelesaikan masalah-masalah yang diketemukan dan masuk akal dengan menghindari metode-metode lama yang sama. Bawahan didorong dan diajak untuk berpartisipasi, sehingga mereka lebih terikat pada serangkaian kegiatan.
e)    Percobaan dan hasil: Pada tahap keempat diuji dalam program-program yang berskala kecil dan hasilnya dianalisa.
f)    Pungutan dan penerimaan: Setelah diuji dan sesuai dengan keinginan, harus diterima secara sukarela dan harus menjadi sumber penguatan dan menimbulkan keterikatan pada perubahan.
5.    Problem Pelaksanaan Perubahan dan Cara Mengatasinya
Nadler (1983: 554-555) mengemukakan bahwa dalam upaya melaksanakan perubahan organisasi terdapat tiga problem yang dihadapi, yaitu :
1.    Resistensi atau penolakan terhadap perubahan,
2.    Pengawasan organisasi, dan
3.    Kekuasaan
Yang dimaksud resistensi terhadap perubahan ialah bahwa orang (anggota) cenderung menolak  perubahan dan berusaha mempertahankan  status dan kenyamanan kerja sebagaimana yang telah mereka peroleh sebelumnya. Perubahan akan membawa mereka kepada situasi yang kacau sehingga menimbulkan kecemasan. Berbagai kemudahan yang mereka peroleh selama ini juga terancam hilang, setidaknya mengalami perubahan. Mereka sudah terbiasa dengan lingkungannya, menjalin hubungan baik dengan teman-teman sejawat dan juga pimpinannya. Perubahan organisasi akan merusak berbagai hubungan yang sudah terjalin tersebut. Kecuali itu anggota yang sudah memiliki kedudukan dan kekuasaan tertentu merasa terancam pula dengan adanya perubahan organisasi. Dalam situasi yang baru nanti tidak ada jaminan bahwa mereka akan memperoleh kedudukan yang lebih tinggi atau setidak-tidaknya sama dengan apa yang mereka dapatkan dalam kondisi lama. Dari berbagai alasan itulah maka anggota cenderung menolak perubahan organisasi.
Problem kedua berkenaan dengan pengawasan organisasi. Dalam situasi yang normal (sebelum perubahan dilaksanakan) pengawasan mudah dilakukan sebab jalurnya sudah pasti sebagaimana tergambar pada struktur organisasi. Akan tetapi dengan adanya perubahan, situasinya menjadi lain. Organisasi diliputi suasana kacau, paling tidak selama masa transisi. Dalam keadaan seperti itu sukar memantau tingkahlaku dan penampilan anggota. Dengan demikian sukar pula melakukan tindakan perbaikan jika ternyata terjadi penyimpangan. Mekanisme pengawasan sebagaimana tergambar dalam struktur organisasi hanya dapat dilakukan dengan efektif pada situasi yang stabil. Dalam masa transisi belum jelas benar siapa mengawasi siapa atau siapa bawahan siapa karena strukturnya mengalami perubahan.
Problem yang ketiga menyangkut masalah kekuasaan. Pada umumnya dalam sebuah organisasi (termasuk sekolah) terdapat kelompok-kelompok informal yang memiliki ’kekuasaan’ dalam mengendalikan organisasi. Kelompok-kelompok seperti itu memiliki pengaruh yang besar terhadap pimpinan dan ikut mewarnai kebijakan-kebijakan yang diambil organisasi. Aktivitas kelompok-kelompok seperti itu cenderung bersifat politis daripada rasional organisatoris. Mereka sudah memiliki ’kedudukan’ yang mapan dalam struktur yang berlaku. Dengan adanya perubahan organisasi, suasana menjadi kacau sehingga kedudukan mereka terancam. Akibatnya para anggota dan juga kelompok-kelompok yang ada saling berebut pengaruh agar dapat menduduki posisi kunci dalam struktur yang baru nanti. Situasi seperti itu dapat menyebabkan tujuan perubahan itu sendiri tidak tercapai, atau setidak-tidaknya mengurangi keefektifan pencapaian tujuan perubahan.
Terhadap problem resistensi diperlukan tindakan penyadaran bagi anggota akan arti pentingnya perubahan dalam rangka peningkatan keefektifan organisasi. Dengan demikian timbul motivasi anggota untuk berpartisipasi aktif dan positif dalam program perubahan yang dilaksanakan. Terhadap problem pengawasan, perlu dilakukan persiapan khusus selama berlangsungnya masa transisi sehingga situasi tidak menentu yang terjadi pada masa itu dapat terkendali. Sementara itu terhadap problem kekuasaan, perlu diciptakan mekanisme politik yang dinamis dan sehat sehingga sanggup mendukung pelaksanaan program perubahan organisasi.



2.3  Dampak Perubahan
1. Dampak Positif
            Dampak yang dihasilkan akan positif jika proses penanganan suatu perubahan mulai dari identifikasi sebuah perubahan sampai tindakan yang dilakukan dalam menyikapi perubahan tersebut sesuai dengan keadaan sekitar. Namun jika salah satu komponen ada yang tidak sesuai, pasti hasilnya kurang atau bahkan berdampak negatif bagi lingkungan internal maupun eksternal.
2. Dampak negatif
            Ini terjadi dikarenakan tidak adanya kesinambungan antara sebab terjadinya dengan cara penanganannya, kurangnya koordinasi antar sesama komponen.
























BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
            Sebuah perubahan akan menjadi baik atau tidak tergantung bagaimana cara meyikapinya, terutama peran seorang pemimpin yang mana mempunyai wewenang atau kekuasaan tertinggi atas segala keputusan yang diambil sangatlah mempengaruhi. Jadi dalam konteks ini seorang pemimpin memang haruslah bijaksana dan pintar dalam menanggapi, menilai sebuah perubahan dan mengambil langkah untuk menyikapi perubahan tersebut.

3.2 Saran
           



DAFTAR PUSTAKA